Revisit Kasus Pencemaran Lumpur Lapindo : Analisis Putusan Pengadilan
Setelah membaca tulisan sebelumnya mengenai Penyebab & Dampak Lingkungan dari Kasus Pencemaran Lumpur Lapindo, hari ini kami akan kembali membahas mengenai kasus tersebut, yang berfokus pada Analisis Putusan Pengadilan.
Dalam analisis putusan kasus tersebut penulis bekerjasama dengan 9 anggota tim lainnya. Yaitu Bapak/Ibu : Tarminingsih, Prof. A. Kadim, Tonasi, D Sulistianingsih, E Agustina, G Gunawan, B Futuray, Lingga M, J Ayulina.
Setahun setelah kejadian di Sidoarjo, Jawa Timur, maka pada tanggal 27 Desember 2007, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengeluarkan sebuah putusan penting bagi penerapan dalih bencana alam di Indonesia, yaitu putusan atas kasus antara Lembaga Swadaya Masayarakat (“LSM”) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (“Walhi”) dengan Lapindo. Walhi sebagai organisasi yang memiliki konsen pada pelestarian lingkungan hidup memandang, bahwa telah terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Lapindo. Maka Walhi berdasarkan hak gugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan perkara Nomor 284/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel. Pada tanggal 19 Desember 2007 perkara tersebut telah diputus oleh Majelis Hakim.
Posisi Kasus Persidangan
Walhi mengajukan gugatan berdasarkan hak gugat (legal standing) karena selama ini Walhi melakukan pekerjaan sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup. Walhi selama lebih dari 25 tahun melakukan pengorganisasian, kampanye, pendidikan rakyat, dialog maupun desakan kepada pemerintah dan beberapa kali melakukan gugatan melalui pengadilan dalam kasus-kasus lingkungan hidup, yang kesemuanya dilakukan dalam rangka penyadaran dan usaha pelestarian lingkungan hidup. Gugatan Walhi ini ditujukan kepada 12 pihak tergugat yaitu :
- PT. Lapindo Berantas Incorporated (tergugat I);
- PT. Energi Mega Persada, Tbk (Tergugat II);
- Kalika Energy Limited (Tergugat III);
- PAN Asia Enterprise., Ltd (Tergugat IV);
- PT. Medco Energi, Tbk (Tegugat V);
- Santos Brantas Pty., Ltd (Tergugat VI);
- Pemerintah RI, Cq. Presiden RI (Tergugat VII);
- Pemerintah RI, Cq. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Tergugat VIII)
- Pemerintah RI, Cq. Badan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Tergugat IX);
- Pemerintah RI, Cq. Menteri Negara Lingkungan Hidup (Tergugat X);
- Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur RI, Cq. Gubernur Jawa Timur (Tergugat XI);
- Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo RI, Cq. Bupati Kabupaten Sidoarjo (Tergugat XII).
Menurut Walhi para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan terjadinya pengrusakan lingkungan hidup di wilayah Kecamatan Porong, Jabon dan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. Untuk itu, Walhi menuntut agar para Tergugat II, III dan IV (PT. Energi Mega Persada, Tbk, Kalika Energy Limited, PAN Asia Enterprise, Ltd) menanggulangi dan melakukan pengembalian lingkungan hidup yang rusak dengan biaya tergugat II, III dan IV. Walhi juga menuntut agar Tergugat I, II, III, IV, V, dan VI (PT. Lapindo Berantas Incorporated sebagai tergugat I, PT. Energi Mega Persada, Tbk sebagai Tergugat II, Kalika Energy Limited sebagai Tergugat III, PAN Asia Enterprise, Ltd sebagai Tergugat IV, PT. Medco Energi, Tbk sebagai Tegugat V, Santos Brantas Pty., Ltd sebagai tergugat VII, untuk dengan segala usaha dan kemampuan, baik fisik maupun secara financial menghentikan semburan lumpur, memperbaiki sarana dan prasarana pubik, sosial dan kemasyarakatan, serta menanggulangi kerusakan lingkungan hidup yang terjadi serta mengembalikan fungsi lingkungan hidup yang telah rusak tersebut sehingga berfungsi sebagaimana awalnya sebelum terjadi semburan lumpur, termasuk di wilayah lainnya yang nantinya mengalami kerusakan akibat semburan tersebut, dengan biaya yang ditanggung mereka masing-masing secara tanggung renteng.
Walhi juga menuntut agar menghukum dan memerintahkan Tergugat VII (Pemerintah RI, Cq. Presiden RI) untuk melakukan evaluasi asas kontrak kerjasama di Blok Berantas dan melaporkannya secara terbuka serta berkala kepada publik dan dalam masa proses evaluasi tersebut, untuk menghindari resiko kejadian serupa maka melakukan moratorium atas semua kontrak kerjasama di Blok Brantas. Walhi juga menuntut untuk menghukum dan memerintahkan kepada masing-masing tergugat untuk meminta maaf secara terbuka dan tertulis kepada masyarakat korban pada khususnya dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya, melalui media elektronik maupun cetak, baik di tingkat nasional maupun lokal. Walhi juga menuntut untuk menghukum dan memerintahkan para tergugat membayar uang paksa (dwangsom) masing-masing sebesar Rp.500.000.000,- setiap hari apabila para tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan perkara ini. Selain tuntutan pokok perkara, Walhi juga mengajukan permohonan Provisi yaitu memerintahkan kepada tergugat IV (Presiden RI) untuk membentuk Tim Nasional Pemulihan Dampak semburan Lumpur Panas Lapindo Brantas yang anggotanya terdiri dari tokoh masyarakat, pemerintah, LSM di bidang pelestarian lingkungan dan hukum, advokasi masyarakat serta hak asasi manusia, akademisi dan ahli pertambangan. Walhi dalam Provisi juga menuntut untuk memerintahkan Tergugat I untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka menghentikan pelanggaran-pelanggaran yaitu untuk tidak melakukan pembuangan lumpur dan air lumpur secara sembarangan tanpa melalui pengolahan lebih dahulu. Dan kepada tergugat I, II, III, IV, V dan VI untuk tidak melakukan pengalihan dan penjaminan terhadap aset-asetnya serta harta kekayaan kepada pihak lain.
Persidangan kasus ini menghadirkan beberapa saksi atau saksi ahli, baik yang diajukan penggugat maupun tergugat. Saksi dan saksi ahli yang diajukan penggugat diantaranya adalah Kudori (Petani di Renokenongo), Rudi Budihardo (warga Jatirejo), Hari Suwandi (warga desa Kd. Bendo), Santoso, DR. Asep Warlan Yusuf (Saksi Ahli), DR. Ir. Rudi Rubiandini R.S. (Saksi Ahli), Dayu Setyorini (Saksi Ahli), Mas Achmad Santosa, SH (saksi Ahli). Adapun saksi yang diajukan oleh Tergugat adalah Hj. Machmudatul Fatcyiyah (Kades 1999–2007), Sali (Warga), Sampun Hadi Prayitno (Penjaga Pintu Air di Porong), Ir. Agus Guntoro (Saksi Ahli Geologi), Prof. Sukendar Asikin (Saksi Ahli bidang Tektonik), Ir. Mochamad Sofian Hadi (Saksi Ahli bidang Tektonik), DR. Ir. Dody Nawangsidi (Saksi Ahli Tehnik Pemboran dan bebaruan), Prof. Dr. Agoes Soegianto, DEA, Ir.
Dalam eksepsinya, para Tergugat mempersoalkan legal standing para penggugat. Tetapi oleh majelis hakim, Walhi dianggap memiliki legal standing dan menolak eksepsi para tergugat. Terkait dengan permohonan Provisi Walhi, Majelis berpandangan bahwa tidak ada yang bersifat mendesak sehingga harus dikeluarkan putusan sela. Putusan terhadap permohonan provisi disertakan dalam putusan akhir.
Oleh majelis Hakim, semburan lumpur panas Lapindo Berantas yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan dianggap sebagai peristiwa yang diketahui umum (notoir), sehingga menurut Majelis harus dinyatakan telah terbukti dan tidak perlu dibuktikan lagi. Namun persoalannya menurut Majelis Hakim, apakah terjadinya lumpur panas tersebut disebabkan oleh tindakan para Tergugat yang merupakan perbuatan melawan hukum ? Untuk menjawab masalah ini, majelis berusaha menguji apakah peristiwa notoir tersebut disebabkan oleh kesalahan Tergugat I (PT Lapindo Berantas) dalam pemboran atau disebabkan oleh fenomena alam. Untuk menjawab masalah diatas, menurut Majelis yang paling kompeten memberi keterangan adalah ahli geologi karena berkaitan dengan lumpur yang keluar dari bumi dan ahli pemboran minyak karena berkait dan dengan sumur pemboran milik Lapindo Berantas. Menurut Majelis, 4 orang saksi ahli yang diajukan Walhi yang kompeten menjawab masalah diatas hanyalah 1 orang saksi ahli yaitu Dr. Ir. Rudi Rubiandini. Sementara 3 yang lain dianggap tidak dapat menjelaskan karena DR. Asep Warlan Yusuf, SH, MH dianggap oleh Majelis ahli dalam bidang Administrasi. Sedangkan Achmad Santosa, SH dianggap ahli di bidang studi lingkungan. Sebaliknya, Majelis berpendapat bahwa 4 saksi ahli yang diajukan tergugat kompeten dalam menjelaskan masalah diatas, yaitu Dr. Ir. Agus Guntoro, SH ahli bidang Geologi, Prof. dr. H. Sukendar Asikin sebagai ahli bidang geologi khususnya gerak tektonik, Ir. Mochamad Sofian Hadi, ahli geologi, dan DR. Ir. Dedy Nawangsidi sebagai ahli bidang pemboran.
Menurut saksi Ahli penggugat Dr. Ir. Rudi Rubiandini, penyebab semburan lumpur adalah pada awalnya pada lubang sumur yang sedang dibor oleh PT Lapindo Berantas, karena pada pemboran kedalaman 9270 feet belum dipasang selubung (casing). Namun pendapat ini dibantah oleh Saksi Ahli tergugat, dan menurut mereka itu karena peristiwa alam yang diakibatkan oleh gempa di Yogjakarta. Dalam pemahaman geologis fenomena alam ini disebut gunung lumpur atau mud volcano. Menurut Mejelis, terjadinya semburan lumpur panas di Banjir Panji 1 karena fenomena alam bukan akibat kesalahan dari Tergugat I PT Lapindo Berantas. Majelis menyatakan, bahwa Tergugat I tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum. Dengan demikian, Majelis menolak gugatan penggugat. Menurut Majelis, karena petitum no. 2 ditolak maka terhadap petitum selebihnya dinyatakan ditolak pula.
Selanjutnya majelis menyatakan, karena gugatan penggugat ditolak maka alat bukti yang diajukan oleh Tergugat lainnya dinyatakan tidak perlu dipertimbangkan lagi. Menurut Majelis, karena semburan lumpur panas Lapindo adalah fenomena alam/bencana alam, maka tentang hal ini perlu dipertimbangkan kewajiban para Tergugat terutama Pemerintah dari segi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Menurut Majelis Negara Indonesia adalah tipe Negara kesejahteraan dimana Negara ikut campur dalam urusan kesejahteraan rakyat sebagaimana disebut dalam muqodimah UUD 1945, bahwa Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Berdasarkan pertimbangan diatas, Majelis berpendapat bahwa ditinjau dari segi hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara, Negara/pemerintah dalam hal ini tergugat VII, VIII, IX, X, XII mempunyai tanggungjawab hukum untuk menanggulangi serta melakukan pengembalian lingkungan hidup yang rusak dengan segera menghentikan semburan lumpur, memperbaiki saran dan prasarana publik, sosial dan kemasyarakatan.
Selain itu, karena lokasi semburan lumpur panas berada di area sumur pemboran milik tergugat I PT Lapindo Berantas, maka menurut Majelis, secara moral Tergugat I juga mempunyai kewajiban sama seperti pemerintah seperti diatas.
Mengadili:
- Menolak eksepsi para tergugat
- Menolak Tuntutan Provisi dari Penggugat
- Menolak Gugatan Penggugat untuk seluruhnya
- Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp.1.184.000,-
Analisa Putusan No. 284/Pdt.G/2007/PN Jak.Sel.10
Pembatasan hanya saksi ahli bidang Geologi dan pemboran minyak yang dapat menjelaskan semburan Lumpur Panas lapindo merupakan kekeliruan Majelis. Dalam melihat semburan lumpur panas Lapindo, majelis telah membuat pembatasan secara keliru dalam melihat fenomena semburan lumpur Lapindo yaitu dengan membatasi saksi ahli pada bidang geologi dan pemboran minyak. Seharusnya hakim dapat melihat fenomena lumpur lapindo sebagai peristiwa notoir secara komprehensip dan menyeluruh dari berbagai sudut pandang. Dengan begitu, hakim mempunyai gambaran yang lebih utuh tentang fenomena semburan lumpur panas Lapindo dan mengambil keputusan yang tepat.
Tidak memasang selubung (casing) sebagai tindakan kelalaian dan merupakan perbuatan melawan hukum. Majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan adanya kelalaian pada saat pemboran yaitu tidak memasang selubung (casing). Padahal pemasangan selubung (casing) merupakan prosedur standar yang seharusnya dilakukan dalam setiap pemboran. Pemasangan selubung (casing) bertujuan untuk menghadapi bahaya dan merupakan upaya preventiif. Kalau selubung (casing) dipasang, jika terjadi kecelakaan dalam pemboran akan baik-baik saja. Artinya dengan tidak memasang selubung (casing) sebenarnya pihak Tergugat I PT Lapindo Berantas telah melakukan kesalahan. Walaupun tidak terjadi semburan lumpur panas Lapindo, tindakan itu tidak sesuai prosedur dan merupakan langkah yang membayakan bagi proses pemboran, sehingga dapat dikategorikan sebagai bentuk kelalaian. Seharusnya majelis hakim menggali dapat lebih mendalam tentang standar operating procedure (SOP) dalam pemboran migas, khususnya menyangkut pemasangan selubung (casing). Dalam kesaksian dari saksi ahli yang terkait dengan kelalaian memasang selubung (casing) hanya ada dua saksi ahli yang dapat memberikan penjelasan yaitu Dr. Ir. Rudi Rubiandini dari Penggugat dan Dr. Ir. Didi Nawangsidi dari tergugat. Dengan demikian hanya ada dua ahli yang berbeda pandangan terhadap pemasangan selubung (casing) tersebut. Seharusnya majelis dapat lebih jauh mengesplorasi masalah kelalaian dalam pemasangan selubung (casing) ini. Terkait dengan penyebab terjadinya lumpur Lapindo, terlihat hakim hanya mempertimbangkan aspek kuantitas saksi ahli yang diajukan oleh masing-masing penggugat dan tergugat, dimana menurut Majelis hanya satu saksi ahli penggugat yang dapat memberikan kesaksian secara kompeten dan 4 dari saksi ahli yang diajukan tergugat. Hakim sama sekali tidak mempertimbangkan aspek kualitatif terhadap penyebab semburan lumpur Lapindo, khususnya terkait dengan kelalaian dalam pemasangan selubung (casing).
Strict Liability (pertanggungjawaban atas resiko sebuah kegiatan) Dengan menggunakan hak gugat LSM, Walhi mencoba untuk membawa kasus Lumpur Lapindo ke pengadilan. Dasar gugatannya adalah bahwa penyebab dari munculnya semburan lumpur tersebut akibat dari kelalaian Lapindo dalam melakukan pemboran eksplorasi migas. Kelalaian tersebut adalah:
- “…pelanggaran terhadap asas kehati-hatian, atau tidak melaksanakan kaidah keteknikan yang baik, atau tidak memperhatikan sensitifitas zona Porong secara geologis, atau melanggar kewajiban-kewajiban hukumnya yang seharusnya tidak melakukan eksplorasi di sumur BJP-1 tersebut atau jika dalam eksplorasinya terdapat masalah keteknikan maka sumur BJP-1 seharusnya dimatikan, seperti yang dilakukan oleh Huffco Brantas di sumur eksplorasi Porong-1 tahun 1997 yang formasi sumurnya sama dengan BJP-1, dengan masalah yang sama dan letaknya berdekatan dengan sumur BJP-1”
- “…ketidak hati-hatian kegiatan usaha eksplorasi migas Tergugat I ditujukkan [sic!] dengan tetap melakukan pemboran lapisan bumi pada kedalaman ribuan feet (kaki) di wilayah yang dekat pemukiman padat penduduk dan banyak fasilitas sarana dan prasarana infrastruktur…”
Di samping itu, perlu pula dinyatakan di sini bahwa dalam kasus ini Walhi menggunakan dasar strict liability selain dari pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Strict liability digunakan dengan merujuk pada pasal 35 UUPLH, sedangkan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan digunakan dengan merujuk pada pasal 34 UUPLH. Dalam perkara ini, Walhi berupaya menunjukkan beberapa bukti kelalaian Lapindo.
Pertama, kegiatan pemboran oleh Lapindo tidak disertai dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sehingga “tidak ada antisipasi penanganan yang tepat berdasarkan kaidah keteknikan yang baik dan benar dan menimbulkan malapetaka yang besar dan menimbulkan kekacauan ekologis, ekonomi, sosial, psikologi sosial, dan lain-lain”.
Kedua, Lapindo tidak memasang selubung (casing) dalam kegiatan pemborannya sehingga merupakan pelanggaran terhadap kehati-hatian. Dalam hal ini, saksi ahli yang diajukan oleh Walhi menyatakan bahwa pemasangan selubung (casing) merupakan “kewajiban yang harus dilakukan oleh yang melakukan pemboran”. Atas pernyataan penggugat ini, Lapindo menyatakan bahwa kegiatannya bukanlah kegiatan yang akan terkena strict liability, dengan berdasarkan pada alasan bahwa kegiatan Lapindo bukanlah kegiatan yang menggunakan B3 atau menghasilkan limbah B3. Di sisi lain, Lapindo juga menjelaskan bahwa perbuatannya tidaklah termasuk perbuatan melawan hukum. Dalam konteks ini, Lapindo menyatakan bahwa menurut peraturan yang berlaku, kegiatan Lapindo berupa pemboran sumur eksplorasi migas bukanlah termasuk kegiatan yang wajib memiliki dokumen Amdal tetapi cukup dengan dokumen UKL-UPL sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU PPLH. Dengan pernyataan ini, Lapindo berupaya untuk menunjukkan bahwa ketiadaan Amdal bukanlah merupakan pelanggaran terhadap hukum. Dalil lain yang dinyatakan Lapindo untuk membantah adanya perbuatan melanggar hukum adalah dengan menunjukkan bahwa kegiatan pemborannya “telah memenuhi seluruh perizinan dan prosedur yang disyaratkan.” Di samping itu, melalui saksi ahlinya, Lapindo berupaya menunjukkan bahwa ketiadaan selubung (casing) merupakan hal yang wajar dan biasa terjadi di dalam praktek pemboran migas, sehingga bukan merupakan sebuah kesalahan. Lebih jauh lagi, Lapindo berupaya pula untuk menunjukkan bahwa semburan lumpur yang terjadi bukanlah diakibatkan oleh adanya kekeliruan dalam pemboran, tetapi lebih dikarenakan adanya faktor alam berupa gerakan tektonik sebagai akibat dari gempa bumi di Yogyakarta dua hari sebelum banjir lumpur terjadi. Beberapa saksi ahli yang diajukan oleh Lapindo berupaya membuktikan secara teoritis bahwa banjir lumpur terjadi karena adanya kawah lumpur yang kemunculannya dipicu oleh gempa Yogyakarta.
Dalam kasus ini, hakim memutuskan untuk menolak gugatan Walhi. Namun demikian, perlu kiranya di sini disampaikan bahwa pertimbangan dan cara hakim memutus perkaran ini sebenarnya patut dipertanyakan karena penuh dengan kejanggalan. Misalnya saja, perdebatan mengenai apakah kegiatan Lapindo termasuk ke dalam kegiatan yang dapat terkena strict liability, sama sekali tidak dijawab oleh hakim. Di samping itu, pertimbangan para hakim menunjukkan pula bahwa mereka tidak mengerti perbedaan mendasar antara pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan dengan strict liability, karena di dalam pertimbangannya para hakim mencampuradukkan unsur-unsur yang harus dibuktikan dari kedua sistem pertanggungjawaban tersebut. Kejanggalan yang paling nyata terlihat ketika hakim begitu saja menyimpulkan bahwa banjir lumpur di Sidoarjo diakibatkan oleh gempa Yogyakarta. Perlu dinyatakan di sini bahwa secara teoritis memang masih terdapat perdebatan tentang penyebab dari banjir lumpur ini. Namun demikian, sepertinya, dalam kasus ini hakim hanya mendasarkan pertimbangannya pada alasan bahwa saksi ahli yang mendukung dalih bencana alam lebih banyak dibandingkan dengan saksi ahli yang menyatakan bahwa banjir lumpur diakibatkan oleh kegiatan pemboran eksplorasi migas oleh Lapindo. Lebih jauh lagi, hakim sedikitpun tidak mempertimbangkan apakah ketiadaan selubung (casing) dalam pemboran merupakan sebuah pelanggaran hukum atau bukan, serta tidak mempertimbangkan pula apakah banjir lumpur ini akan tetap terjadi meskipun Lapindo tidak melakukan pemboran di wilayah tersebut. Sebelum memutuskan untuk menerima dalih bencana alam, sebaiknya hakim memberikan pertimbangan yang komprehensif dan masuk akal. Pertanyaan pertama yang perlu dijawab adalah apakah gempa bumi Yogyakarta merupakan gempa bumi yang cukup besar untuk menjadi pemicu terjadinya mud volcano. Dalam konteks ini, Manga menyatakan bahwa gempa Yogyakarta terlalu kecil dan terlalu jauh untuk memicu terjadinya mud volcano. Secara spesifik, Manga menyatakan, bahwa gempa yang lebih besar dan lebih dekat dari gempa Yogyakarta pernah dirasakan di lokasi semburan, tetapi tidak memicu terjadinya banjir lumpur. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah peristiwa mud volcano merupakan sesuatu yang bisa diperkirakan dan diantisipasi. Davies, et al. menganggap bahwa peristiwa Banjir Lumpur Sidoarjo merupakan sebuah akibat dari under surface blowout yang sebenarnya merupakan sesuatu yang umum terjadi. Apabila pendapat ini diterima, maka dalih bencana alam akan ditolak, karena semburan liar (blowout) dianggap sebagai sesuatu yang biasa terjadi di dalam pemboran migas. Pendapat ini bahkan diakui pula oleh Lapindo sendiri, yang di dalam bantahan mereka dalam kasus ini mengutip dan menyetujui pernyataan dari Agus Guntoro bahwa:
- Mud volcano merupakan fenomena umum yang terdapat dari Jawa Barat hingga utara Lombok dalam satu kelurusan dalam arah barat-timur.
- Fakta-fakta geologi dipermukakaan disekitar Jawa Timur dan Sidoarjo menunjukkan bahwa mud volcano (baik yang masih aktif ataupun tidak aktif) merupakan hal yang sangat umum dijumpai.”
Karena pemboran dilakukan di daerah yang sudah diketahui sebagai daerah yang rawan akan terjadinya mud volcano, maka sudah sepatutnya kejadian semburan lumpur dianggap sebagai sebuah peristiwa yang bisa diperkirakan dan bisa diantisipasi. Dalam konteks ini, hakim seharusnya melihat apakah desain kegiatan pemboran telah dilakukan dengan mengantisipasi kemungkinan terjadinya mud volcano. Hakim pun selayaknya mempertimbangkan apakah Lapindo telah mengambil langkah-langkah penanggulangan apabila terjadi mud volcano. Sayangnya kedua hal ini pun luput dari pertimbangan hakim. Persoalan terakhir yang perlu dipertimbangkan adalah apakah ada campur tangan manusia (human intervention) didalam peristiwa lumpur Lapindo atau, dalam bahasa sederhana, apakah semburan lumpur akan tetap terjadi meskipun Lapindo tidak melakukan pemboran di daerah tersebut. Dalam hal ini, hakim menyatakan “menimbang bahwa lalu timbul masalah apakah keluarnya semburan lumpur panas tersebut disebabkan oleh kesalahan Tergugat I (Lapindo) dalam pemboran atau disebabkan oleh fenomena alam?” Setelah pertanyaan ini, hakim kemudian mempertimbangkan bukti-bukti tentang dampak gempa bumi Yogyakarta, dan selanjutnya, tanpa mau melihat ada-tidaknya kesalahan Lapindo, menyimpulkan bahwa banjir lumpur disebabkan oleh gempa Yogyakarta. Pertanyaan di atas menunjukkan adanya kekeliruan cara berpikir dari para hakim dalam kasus ini. Pendapat ini didasarkan pada dua alasan:
Pertama, pertanyaan hakim yang dikutip di atas mengindikasikan pendapat hakim bahwa apabila ada bencana alam, maka ada-tidaknya kesalahan Lapindo menjadi tidak relevan. Ini jelas sebuah cara berpikir yang janggal. Sebelum menyimpulkan ada-tidaknya pengaruh dari dampak gempa Yogyakarta, seharusnya hakim mempertimbangkan ada tidaknya kekeliruan di dalam kegiatan pemboran oleh Lapindo. Di dalam konteks pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, adanya kesalahan akan menggugurkan dalih bencana alam. Salah satu bentuk kesalahan yang sering dikemukakan adalah fakta bahwa pemboran dilakukan tanpa adanya selubung (casing). Rubiandini, dalam sebuah wawancara menyatakan “fakta yang tak terbantahkan: Mereka menabrak standard operating procedure (SOP). Kalau saja dipasangi selubung (casing) hingga kedalaman 8.500–9.000 MDPL, itu akan aman. Selubung (casing) itu seperti helm bagi pengendara motor. Boleh saja tidak pakai helm, asalkan tidak mengalami kecelakaan. Sekali sial, akibatnya fatal. Dalam pemboran, selubung (casing) berfungsi mengurangi risiko.”
Kesalahan lain yang mungkin menjadi pemicu adalah cara Lapindo menanggulangi semburan lumpur. Bachtiar, sebagaimana dikutip oleh Cyranoski, menyatakan bahwa salah satu penyebab yang mungkin bagi terjadinya semburan lumpur adalah karena alat bor dicabut terlalu cepat ketika sedang terjadi semburan liar, sehingga tekanan di dalam sumur menjadi tidak terkonrol. Dalam konteks ini, berbeda dari pendapat umum di Indonesia, Davies et al. menyatakan bahwa ketiadaan selubung (casing) merupakan faktor pendukung (contributing factor) saja bagi terjadinya mud volcano. Menurut mereka, faktor utama pemicu mud volcano adalah pencabutan pipa dan mata bor yang terlalu cepat ketika sedang terjadi peristiwa lumpur pemboran meluap (kick). 15 Kedua hal ini, baik ketiadaan selubung (casing) maupun kekeliruan dalam pencabutan alat pemboran, menunjukkan adanya kontribusi kesalahan dari Lapindo. Atas dasar ini, maka dalam konteks pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, dalih bencana alam yang diajukan Lapindo seharusnya ditolak.
Kedua, pertanyaan hakim di atas, yang membandingkan antara kesalahan dengan bencana alam, juga tidak bisa diterima karena salah satu dasar pertanggungjawaban yang diajukan oleh Walhi adalah strict liability, yaitu pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Dalam hal ini, Lapindo tidak bisa mengelak dari pertanggungjawaban hanya dengan menunjukkan bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan (pelanggaran hukum). Seperti telah dikemukakan sebelumnya, di dalam konteks strict liability, dalih bencana alam dibuktikan dengan tidak adanya pengaruh campur tangan manusia (without human intervention) terhadap kerugian yang terjadi. Lapindo harus mampu menunjukkan bahwa kerugian yang terjadi sepenuhnya diakibatkan oleh gempa Yogyakarta, sehingga meskipun seandainya tidak ada pemboran di daerah tersebut semburan lumpur tetap akan terjadi. Lebih jauh lagi, dampak semburan lumpur yang luar biasa tidak dapat pula digunakan sebagai ukuran untuk menerima dalih bencana alam, sebab sepanjang kerugian ini dianggap termasuk ke dalam resiko dari pemboran migas, maka semburan lumpur tidak dapat dijadikan dalih bencana alam.
Terkait strict liability yang merupakan pertanggungjawaban atas resiko sebuah kegiatan, tanpa melihat sifat (besar kecilnya) dampak yang muncul dari resiko sehingga dengan demikian, penggunaan dalih bencana dalam konteks strict liability seharusnya ditolak. Putusan Majelis Ambivalen Majelis menyatakan, bahwa para tergugat terbukti tidak bersalah melakukan perbuatan melawan hukum. Akan tetapi majelis juga menyatakan bahwa Tergugat harus bertanggungjawab terhadap semburan lumpur panas Lapindo. Hal ini menunjukan inkonsistensi Majelis dalam melihat fenomena lumpur panas Lapindo, dan itu disebabkan oleh tidak utuhnya melihat fenomena tersebut dari berbagai sudut pandang. Secara normatif, pihak yang dinyatakan tidak bersalah tidak harus mempertanggungjawabkan sesuatu. Tetapi hal itu terjadi pada putusan Majelis, bahwa tergugat memiliki kewajiban bertanggungjawab terhadap semburan lumpur panas Lapindo. Dengan adanya dua pertimbangan tersebut, mana yang harus menjadi acuan, apakah pihak tergugat tidak bersalah melakukan perbuatan melawan hukum ataukah tergugat harus bertanggungjawab terhadap semburan Lapindo.
Ringkasan Analisis
Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya luapan lumpur Lapindo, misalnya pelanggaran SOP, kaitannya dengan Gempa Yogyakarta yang berlangsung pada hari yang sama, aspek politik yaitu eksplorasi migas untuk kepentingan pemerintah, dan aspek ekonomis yaitu untuk menghemat biaya pengeluaran (efisiensi). Dampak yang ditimbulkan dari semburan lumpur Lapindo ini sangat banyak, terutama bagi warga masyarakat sekitar. Dampak yang ditimbulkan memiliki beberapa aspek, seperti dampak sosial, misalnya dampak terhadap perekonomian di Jawa Timur, dampak kesehatan, dampak pendidikan dan dampak akibat pencemaran lingkungan yang berat dan multi dimensi. Untuk menjamin keadilan, hukum menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat dimintai pertanggungjawabannya atas kerugian yang diakibatkan oleh bencana alam: actus dei nemini facit injuriam. Namun demikian, penentuan ada-tidaknya bencana alam selayaknya didasarkan pada prosedur dan logika hukum yang tepat. Pengadilan seharusnya berupaya keras untuk membuktikan bahwa bencana alam benar-benar merupakan penyebab dari sebuah kerugian. Putusan hakim pada kasus Walhi dengan Lapindo, dkk justru menunjukkan adanya logika yang janggal ketika hakim memutuskan bahwa banjir lumpur Sidoarjo terjadi karena gempa Yogyakarta. Hakim tidak memeriksa apakah dampak dari gempa bumi terhadap pemboran merupakan hal yang tidak bisa diprediksi dan dihindarkan. Selain itu, tidak pula diperiksa apakah banjir lumpur merupakan peristiwa yang belum pernah terjadi dalam kegiatan pemboran migas. Karenanya, putusan Walhi vs Lapindo, dkk sebenarnya tidak dapat memastikan bahwa Banjir Lumpur Sidoarjo tetap akan terjadi meskipun tidak ada pemboran di daerah itu. Tidak pula dapat dipastikan bahwa banjir lumpur merupakan peristiwa yang terlepas dari kesalahan Lapindo atau kegiatan pemboran oleh Lapindo. Anehnya, tanpa adanya informasi tentang hal-hal tersebut, hakim tetap memutuskan bahwa Banjir Lumpur Sidoarjo terjadi karena faktor alam, yaitu gempa Yogyakarta. Majelis tidak utuh melihat fenomena semburan lumpur panas Lapindo dan Putusan hakim ambivalen sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Demikian analisis sederhana ini. Jika ada kesalahan dalam penulisan/arti mohon dikoreksi, diberi masukan, dan dimaafkan, semoga bermanfaat. Terimakasih.
Referensi :
Perundang-undangan/Peraturan/Putusan Pengadilan :
- UUD 1945
- Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
- Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 tentang tentang PPLH
- Peraturan Presiden (Perpres) №14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
- UU Prp No. 23 Tahun 1959 tentang tentang Pencabutan UU No. 74 Tahun 1957 (Lembaran-Negara №160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya
- Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan PPLH
- Putusan Pengadilan No. 284/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel. antara Walhi dengan Lapindo Brantas, Inc
Buku :
- Asshidiqie, Jimly, “Hukum Tata Negara Darurat”, Rajawali Press Jakarta, 2008.
- D. Cyranoski, “Muddy Waters: How Did a Mud Volcano Come to Destroy an Indonesian Town”, Nature, Vol. 445, Feb. 2007, 812–815, hal. 814. M. Manga, “Did an Earthquake Trigger the May 2006 Eruption of the Lusi Mud Volcano?”, Eos, Vol. 88 (18), 2007, hal. 201. Lihat pula: R.J. Davies, et al., “The East Java Mud Volcano (2006 to Present): An Earthquake or Drilling Trigger?”, Earth and Planetary Science Letters, Vol. 272, 2008, 627–638, hal. 629–630;
- M. Manga, M. Brumm, M.L. Rudolph, “Earthquake Triggering of Mud Volcanoes”, Marine and Petroleum Geology, Vol. 26(9), 2009, hal. 1785–1798.
- R.J. Davies, et al., “Sawolo et al. (2009) the Lusi Mud Volcano Controversy: Was It Caused by Drilling?”, Marine and Petroleum Geology, Vol. 27, 2010, 1651– 1657, hal. 1653–1654.
- R. Rubiandini, “Interviu: Mereka Sudah Keterlaluan”, Trust, №18, Thn. VI, 2008, 56- 58, hal. 57.
Website (diakses tanggal 19 Oktober 2021 pukul 21.00 wib)
- https://www.skkmigas.go.id/contact/kkks-produksi
- https://www.kompas.com/sains/read/2020/08/28/190200923/fenomena-semburanlumpur-di-blora-diduga-mud-volcano-apa-itu-ini?page=all
- https://kabar24.bisnis.com/read/20171018/15/700446/ini-hasil-penelitian-terbarupenyebab-lumpur-sidoarjo
- https://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo
- https://news.okezone.com/read/2012/08/06/372/673678/mahasiswa-sulap-lumpurLapindo-jadi-baterai
- https://www.datatempo.co/majalah/detail/MC201302100070/lapindo-lalai-pasang-selubung-bor